Senin, 25 Juni 2012

Chevron Untung dari Minyak Duri, Negara Rugi US$ 2,2 Miliar/Tahun

Rista Rama Dhany - detikfinance 
 Jakarta - Ladang minyak Duri di Sumatera telah digali oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sejak 1950-an. Produksinya saat ini mencapai 460 ribu barel per hari. Tapi negara dirugikan, kenapa?

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumir (BPH Migas) Qoyum Tjandranegara mengatakan, kerugian yang dialami pemerintah mencapai US$ 2,2 miliar/tahun.

"Ini dikarenakan lifting minyak Duri dengan menggunakan gas bumi yang berdampak pada kerugian negara," kata Qoyum dalam makalahnya berjudul 'Ekspor Gas Bumi & Lifting Minyak Dengan Gas Bumi Berakibat Negara Kehilangan Devisa' yang dikutip, Senin (23/4/2012).

Qoyum menjelaskan, semula untuk menghasilkan lifting minyak mentah duri sebesar 400 ribu barel per hari dibutuhkan 60 ribu barel per hari untuk bahan bakar pembuat steam (uap air) yang digunakan untuk mengangkat minyak Duri.

"Sekarang untuk menambah lifting minyak sebesar 60.000 barel per hari sehingga produksi menjadi 460.000 barel per hari,maka bahan bakarnya diganti dengan gas bumi sebesar 360 mmscfd," ungkapnya.

Kata Qoyum, jika harga minyak mentah US$ 110 per barel disamakan dengan gas bumi, maka harga gas bumi adalah US$ 17,4 per mmbtu. "Maka harga BBM = US$ 1,4 x US$ 110 per barel = US$ 154 barel per hari. Sehingga pemerintah di sini rugi sebesar US$ 44 x 60.000 barel per hari x 365 hari artinya negara rugi US$ 964 juta per tahun," rincinya.

Kerugian negara US$ 964 juta per tahun ini belum berhenti. Kata Qoyum, kalau harga gas yang dibayar Chevron hanya US$ 8,0/mmbtu, maka pemerintah akan ada tambahan kerugian '(17,4-8) x 360 X 10 pangkat 6 x 365 = US$ 1,235 miliar per tahun'.

"Dengan demikian kerugian negara menjadi kurang lebih US$ 2,2 miliar per tahun dan yang diuntungkan adalah pihak Chevron," tegasnya.

Menurut Qoyum tentunya hal ini sangat ironi, karena masyarakat harus dibebani dengan energi mahal (BBM), sementara kekayaan energi yang murah ini (gas Bumi) malah dinikmati oleh masyarakat di negara-negara sahabat yang mengimpor gas bumi dari negeri Indonesia.

"Ke depan kita harus hindari ekspor gas, sebab ini sesuai dengan amanat UU Migas No. 22/2001, Pasal 8 yang berbunyi: Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri," tutup Qoyum.


Jakarta (SI ONLINE) - Penghinaan dan penistaan yang dilakukan Penerbit Gramedia dinilai Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al Khaththath jauh lebih besar dibanding kesalahan yang dilakukan Pemred Monitor Arswendo Atmowiloto. Karenanya Gramedia tidak cukup hanya dengan meminta maaf.

"Tidak cukup hanya minta maaf, pelanggarannya lebih besar dari pada Arswendo dulu. Itu saja reaksi umat Islam  sudah keras dan mengobrak-abrik kantor Tabloid Monitor. Monitor segera dibrendel dan Arswendo ditangkap dan diadili serta dijebloskan ke penjara. Nah yang ini menghina Nabi Muhammad SAW, dengan menyebut sebagai perompak tentu lebih parah", kata Ustadz Al Khaththath kepada Suara Islam Online, Senin (11/6/2012).

Menurut Ustadz Al Khaththath harusnya aparat kepolisian segera menangkap dan meminta pertanggungjawaban Gramedia. "Mereka yang terlibat dalam penerbitan buku yang menghina Nabi Muhammad SAW, baik penerjemahnya, editornya juga redaktur produksi dan Dirut Gramedia," katanya.

Lantas, sikap apa yang akan dilakukan Forum Umat Islam?. "Yang jelas penghinaan agama Islam yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Kita akan segera ambil langkah-langkah penting termasuk insya Allah membentuk Tim Pembela Islam untuk atas kasus ini atau mungkin kita akan mengadakan demo ke kantor Gramedia," jawabnya.

Tapi, sebelum amarah umat Islam meledak, Ustadz Al Khaththath menyarankan agar Jacob Oetama sebagai pendiri sekaligus pemilik Kompas Gramedia Group (KKG) segera melakukan pembersihan terhadap seluruh anasir antiIslam di KKG. "Apalagi kabarnya beliau sudah masuk Islam dan umroh berkali-kali," ungkapnya.

"Umat harus bersatu tuntaskan hal ini jangan beri kesempatan siapapun menghina Baginda Nabi SAW", seru Ustadz Al Khaththath.
Penghinaan Gramedia Lebih Parah dari Monitor

Penghinaan yang dilakukan Gramedia memang lebih besar dari yang dilakukan Arswendo. Arswendo membuat ulan di tabloid Monitor yang dipimpinnya pada edisi 15 Oktober 1990. Saat itu ia merilis hasil polling bertajuk "Kagum 5 Juta". Menurut hasil jajak pendapat itu, yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto di urutan teratas, disusul BJ Habibie, Soekarno, dan musisi Iwan Fals di tempat ke-4. Arswendo di peringkat 10, sedangkan Nabi Muhammad berada satu tingkat di bawahnya, nomor 11.

Semesta Islam di Indonesia bergolak. Arswendo dituding melecehkan Islam. Pada 17 Oktober 1990, massa datang sporadis, meneriakkan hujatan kepada Arswendo. Para pendemo membakar habis patung Arswendo yang dibuat dari kertas tabloid Monitor. Pada 22 Oktober 1990, massa mengepung kantor Monitor. Mereka melempari kantor, menerobos ruang redaksi, mengaduk-aduk arsip, menghantam komputer, serta menjungkir-balikkan kursi dan meja.

Organisasi massa Islam, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam dan Pemuda Muhamadiyah, naik darah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Hasan Basri, menyerukan kecaman. “Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan!” tandasnya. Ulama sejuta umat, Almarhum KH Zainuddin MZ, tak tinggal diam, “Adanya kasus Monitor tampaknya mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina.”

Sebelum lebih runyam, Arswendo minta bantuan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun angkat tangan dengan alasan massa bukan hanya dari basisnya di Jawa Timur, tapi juga dari tempat-tempat lain. Arswendo kelabakan, berlindung ke Kepolisian, dan memohon maaf secara terbuka, “Saya minta maaf. Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua.” Ia juga menyatakan penyesalannya, “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun.” Penyesalan tidaklah cukup. Arswendo dibui 5 tahun. Monitor pun dilarang terbit. Pada 23 Oktober 1990, SIUPP nomor 194/1984 dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko, padahal dia juga pemilik saham Monitor sebesar 30%.

Rep: Mesyah Achreini
Red: shodiq ramadhan